This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 29 Maret 2015

Mendikbud Tak Melarang Sekolah Terapkan Kurikulum 2013

Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Anies Baswedan mengungkapkan, penerapan Kurikulum 2013 (K13) di sekolah-sekolah memang sudah resmi dihentikan. Namun, ia tidak melarang bagi sekolah yang tetap ingin menerapkan kurikulum tersebut.

"Kurikulum 2013 memang sudah dihentikan, namun tetap bisa dijalankan bagi sekolah-sekolah yang memang bersedia karena sebagian sekolah sudah menerapkan kurikulum ini selama tiga semester," ungkapnya di sela-sela pertemuan dengan para guru se-Kota Ambon di Baileo Siwalima, Senin (26/1/2015). 

Anies menyarankan kepada semua sekolah untuk menggunakan Kurikulum KTSP karena, menurut dia, sementara ini K13 sedang dievaluasi. Dengan demikian, kata Anies, alangkah baiknya sekolah-sekolah kembali pada Kurikulum 2006. 

Menurut Mendikbud, saat ini pihaknya tengah mengevaluasi konsistensi K13. Ada tiga hal penting yang dinilai, yaitu antara ide kurikulum dengan desain kurikulum, desain kurikulum dengan dokumennya, serta antara dokumen kurikulum dengan impelementasinya. 

"Jangan seperti kemarin, kurikulum belum sempat dievaluasi dan dimatangkan, tapi sudah diterapkan di seluruh sekolah dengan materi yang sama. Padahal, Indonesia ini beragam," tandasnya. 

Ia menyebutkan, di setiap daerah, standar pendidikannya berbeda-beda. Hal sama juga terjadi di sekolah-sekolah. Oleh sebab itu, menurut Anies, penerapan Kurikulum 2013 tidak harus serta-merta dilakukan begitu saja. 

Jika dipaksakan, lanjut dia, sama saja tidak bisa menghidupkan kebinekaan. Padahal, kurikulum harus bisa menjadi tradisi masyarakat lokal yang menghargai keberagaman. 

"Kurikulum seharusnya justru menghidupkan kebinekaan, bukan malah kurikulum yang mengganggap kebinekaan bermasalah," kata mantan Rektor Universitas Paramadina ini.

Minggu, 08 Maret 2015

Kurikulum Ganda

PEMIKIRAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang tak ingin menyakiti siapa pun, dan menghindari kesan ganti menteri ganti kurikulum, tecermin kuat dalam keputusan tentang Kurikulum 2013. Sebuah keputusan bertafsir ganda. Sebagian masyarakat menganggap Kurikulum 2013 dihentikan dan sebagian menyatakan diteruskan. Wakil Presiden Jusuf Kalla turut membantah Kurikulum 2013 dihentikan. ”Tak dicabut dan dihentikan. Siapa bilang dicabut,” kata Jusuf Kalla.
Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Mendikbud Nomor 160 Tahun 2014 yang menyatakan pemberlakuan Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan yang telah melaksanakannya selama tiga semester (6.221 sekolah?). Sekolah ini dianggap dan dijadikan rintisan penerapan Kurikulum 2013.
Sementara satuan pendidikan lain (201.779 sekolah?) yang baru menerapkannya satu semester alias sejak semester pertama 2014/2015 kembali ke Kurikulum 2006 mulai semester kedua 2014/2015. Sekolah-sekolah ini, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan pengawasnya akan mendapatkan pelatihan persiapan pelaksanaan Kurikulum 2013. Penerapan Kurikulum 2006 ini berlangsung paling lama empat tahun atau sampai 2019/2020.
Kebijakan ini sesuatu yang sulit dan tak langsung menyelesaikan problem tersebab Kurikulum 2013 yang tergesa-gesa, bahkan menjadi komplikasi bagi pembelajaran mendatang. Namun, putusan ini mesti diambil agar beragam kerancuan substansi dan kesukaran teknis implementasi Kurikulum 2013 tak berkepanjangan, penyempurnaan mendasar dapat dilakukan. Kita tak perlu berlama-lama menunggu fakta empiris yang menunjukkan, sesuatu itu tak benar atau tidak tepat jika secara logis (analitis) saja rancu.
Implikasi keputusan ini memunculkan dualisme standar operasi pembelajaran: Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006, yang jika berlangsung lama akan berimplikasi kesenjangan kualitatif. Bahkan mungkin berdampak diskriminatif karena sekolah pelaksana Kurikulum 2013 kebanyakan eks rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah unggulan lain. Memang setiap pergantian kurikulum akan menghadapi masa transisi yang bercorak dualisme, tetapi biasanya perubahan itu seperti gradasi warna, tidak diametral seperti pemberlakuan Kurikulum 2013 bersama Kurikulum 2006.
Melangkah maju
Dalam suratnya (5/12/2014) untuk kepala sekolah, Mendikbud menyatakan, keputusannya meneruskan pelaksanaan Kurikulum 2013 dan kembali pada Kurikulum 2006 merupakan langkah tepat bagi pendidikan nasional. Ia menolak jika kebijakannya disebut—oleh Mohammad Nuh—sebagai kemunduran.
Anies menjelaskan bahwa Kurikulum 2013 substansinya tidak jelas dan tidak diimbangi kesiapan pelaksanaannya. Kurikulum 2013 tidak terdokumentasi dengan baik sehingga tidak didapatkan bagaimana kajian tentang Kurikulum 2006 yang melatarbelakangi perlunya Kurikulum 2013.
Lebih lanjut ditegaskannya bahwa di antara masalah substansial Kurikulum 2013 adalah ketidakselarasan antara ide dan desain kurikulum dan ketidakselarasan gagasan dengan isi buku teks. Adapun masalah teknis penerapan di antaranya berbedanya kesiapan sekolah dan guru, tak merata dan tuntasnya pelatihan guru dan kepala sekolah, serta penyediaan buku yang belum tertangani secara baik.
Pemikiran Mendikbud sejalan dengan dan didukung Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menyatakan, problem-problem implementasi Kurikulum 2013 merupakan lanjutan dari inkoherensi beragam unsur fundamentalnya. Masalah mendasar itu meliputi asumsi, argumentasi, substansi, dan implementasinya yang tak berjalin koheren sehingga menghasilkan sebuah konsep operasional yang sukar dipahami, apalagi diterapkan.
Kesulitan memahami konsep dan teknis implementatif, seperti pendekatan tematik integratif, kesukaran melakukan evaluasi otentik, tidak semata disebabkan kompetensi pedagogi dan profesional guru yang memang masih rendah, tetapi konsep dan skenario Kurikulum 2013 tidak dibuat mudah berbasis pada realitas pendidikan kita
Doni Koesoema (Kompas, 8/12/2014) merangkum sepuluh hal fundamental yang harus jadi fokus dalam revisi Kurikulum 2013 di antaranya konsep kompetensi inti; pengarusutamaan spiritualisme; pendidikan agama, dan budi pekerti; pendekatan tematik integratif; model evaluasi; serta model pelatihan guru.
Meskipun menghadapi masalah tidak sederhana, Mendikbud tidak bermaksud ”menghapus” Kurikulum 2013. Mendikbud melakukan perbaikan mendasar agar dapat dijalankan dengan baik oleh guru-guru di dalam kelas. Saat telah diperbaiki dan dimatangkan, Kurikulum 2013 baru diterapkan dan disebarkan kembali.
Kebijakan Mendikbud merupakan langkah maju karena mengakui adanya kebaikan dalam Kurikulum 2013, tetapi menyadari banyak kekurangannya. Tidak memberangus, tetapi meneruskan dan menahan sebagian untuk perbaikan.
Menyikapi keputusan Mendikbud
Meski merepotkan, menyikapi keputusan Mendikbud terkait dengan perbaikan Kurikulum 2013 tak perlu reaktif emosional karena perubahan kurikulum tak membuat murid lantas jadi bodoh.
Namun, yang paling merisaukan dari keputusan ini, pertama, terjadinya dualisme yang akan berlangsung lama. Jika perbaikan Kurikulum 2013 secara mendasar, perlu waktu paling tidak tiga hingga lima tahun karena perlu dilakukan perunutan kembali beragam fondasi normatif, situasi obyektif, dan perspektif kebangsaan yang diikuti uji coba. Kecermatan sangat penting agar ”Kurikulum 2013 Amendemen” nantinya berdurasi panjang.
Dualisme tidak saja terjadi antarsekolah, tetapi juga dalam satu sekolah. Itu karena pemberlakuan Kurikulum 2013 tak serentak di semua kelas dalam satu sekolah. Keadaan ini selain merepotkan guru dan sekolah, juga akan berdampak pada kesenjangan kualitatif, bahkan dapat menjurus pada diskriminasi.
Kedua, pemberlakuan keputusan ini di tengah tahun pelajaran 2014/2015 terasa kesusu, bak mengulangi kesalahan Kurikulum 2013 sehingga persiapan ke Kurikulum 2006 juga tak matang. Tadinya dikira urgen karena terkait kontrak dan pencetakan buku semester genap 2014/2015 yang berpotensi pemborosan. Namun, sehubungan kontrak buku tak dapat dibatalkan—bukunya dijadikan referensi perpustakaan—pertimbangan yang memaksa kebijakan ini harus berlaku Januari 2015.
Meneruskan Kurikulum 2013 yang sudah diketahui banyak kelemahan, bahkan mendasar; kemudian memberlakukan Kurikulum 2006 yang juga ada kekurangan tanpa persiapan serta melatih kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan pengawasnya untuk persiapan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang belum diketahui seperti apa jadinya merupakan ”kearifan” yang sukar dipahami apabila ”demi kepentingan anak bangsa kita.”
Untuk menghindari dualisme berkepanjangan dan beragam kerumitan, barangkali perlu dipertimbangkan, pertama, pemerintah membuat ”Pedoman Pembelajaran Sementara Masa Transisi” (kurikulum darurat, sesuai ide Mendikbud tentang ”Darurat Pendidikan”) atau apalah namanya. Dengan demikian, tidak perlu meneruskan Kurikulum 2013 dan menerapkan Kurikulum 2006. Kedua, pemberlakuannya dimulai akhir semester genap tahun pelajaran 2014/2015 sehingga pada semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016 semua sekolah menggunakan dasar operasi pembelajaran yang sama.
Ketiga, ”Pedoman Pembelajaran Sementara Masa Transisi/Revisi” merupakan kompilasi dari Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006 yang sederhana dan praktis. Bagaimanapun, makna kurikulum bagi guru hanyalah panduan tentang apa mata pelajaran dan berapa lama diajarkan. Sederhana bukan?!

Mohammad Abduhzen   Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS,  05 Januari 2015

Kearifan Lokal dalam Kurikulum Nasional


PERMASALAH tentang kurikulum pendidikan nasional kembali menjadi perdebatan. Kurikulum 2013 yang mulai diterapkan pada awal tahun ajaran 2013/2014, kini tidak lagi sepenuhnya digunakan. Hal itu terjadi sebagai imbas keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 160 Tahun 2014, tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan 2013 yang mulai berlaku efektif sejak diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 12 Desember 2014.
Implementasi dari keluarnya peraturan itu adalah satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun ajaran 2014/2015, kembali melaksanakan kurikulum 2006 di semester kedua tahun ajaran berjalan, sampai ada ketetapan dari pemerintah untuk melaksanakan kurikulum 2013.
Adapun, satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun ajaran 2013/2014 tetap menggunakannya. Sekolah-sekolah itu merupakan satuan pendidikan rintisan penerapan kurikulum 2013. Sekolah tersebut dapat berganti melaksanakan kurikulum 2006 dengan melaporkan kepada dinas pendidikan provinsi/ kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.Sementara, satuan pendidikan usia dini dan satuan pendidikan khusus melaksanakan kurikulum 2013 sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pro-kontra menjadi hal yang wajar. Hal tersebut merupakan buah dari munculnya berbagai perubahan kebijakan seiring dengan bergantinya pemerintahan. Kondisi ini membingungkan tenaga pendidik, siswa, dan orangtua. Di saat tenaga pendidik tengah berkonsentrasi pada standar lama yang masih ingin diresapi, pergantian kurikulum sudah ada di depan mata.Selain menghadapi kendala kurangnya waktu sosialisasi yang cenderung dipaksakan, pendidik kembali dihadapkan pada kebingungan pergantian kurikulum dan kesibukan lain yakni mensosialisasikan kepada anak didik dan orangtuanya. Padahal sebuah kebijakan jangka panjang (blue print) tentang pendidikan nasional diperlukan jika kita ingin dunia pendidikan Indonesia lebih maju di masa mendatang.
Berbicara soal pendidikan nasional, harus ada standar dasar pendidikan yang bisa sewaktu-waktu dikembangkan ke arah yang lebih sempurna yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya, di tengah perkembangan dunia global yang semakin pesat, pendidikan karakter tidak bisa diraih secara instan. Ibarat kata, mendikbud yang sebelumnya menanam (memutuskan penggunaaan sebuah kurikulum), mendikbud berikutnyalah yang menyiram (memperbaiki) agar tumbuh berkembang dan semakin kuat.
Auditor pendidikan
Penerapan standar pendidikan nasional tidak bisa dilakukan dengan cara mengubahnya setiap ada pergantian pemerintahan. Selain menimbulkan inkonsistensi, tujuan utama mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk karak ter anak-anak melalui pendidikan di bangku sekolah tidak akan tercapai. Harus diakui, di belakang penciptaan kurikulum nasional ada sejumlah prefesional pendidikan yang mumpuni. Jadi apa pun kurikulum yang diluncurkan positif untuk para anak didik.
Persoalannya, butuh waktu lama untuk menyosialisasikan kurikulum baru. Butuh penyatuan napas edukasi dengan standar yang ditetapkan untuk jangka waktu yang panjang. Untuk itu, diperlukan auditor pendidikan yang akan memantau dan melihat sejauhmana penerapan kurikulum yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan yang diharapkan. Bagaimana sekolah-sekolah mengembangkan kurikulum itu sesuai dengan kebijakan wilayah masing-masing, untuk kemudian dikaji ulang dan dievaluasi secara terus menerus. Selain itu, bagaimana siswa menjalani ujian nasional dengan nyaman dan tidak menganggapnya sebagai momok.
Penerapan kurikulum nasional harus konsisten, jangka panjang (long term), dan dikembangkan dari waktu ke waktu. Bagaimana menciptakan standar pendidikan nasional dengan pattern menanamkan karakter anak melalui budaya lokal merupakan pekerjaan rumah stake holder pendidikan nasional. Kurikulum yang telah dibuat pemerintah akan makin memiliki bobot jika di dalamnya juga memuat aturan yang mengharuskan adanya pendidikan soal kearifan lokal di setiap daerah dengan ciri khas dan karakternya.
Pendidikan berkarakter
Pada prinsipnya, kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara konsep cukup memenuhi standar baku pendidikan di Indonesia. Tidak bisa dimungkiri, standar pendidikan nasional lahir melalui penggodokan dan diskusi panjang yang melibatkan para pakar dan tokoh pendidikan. Namun sayangnya, dalam implementasinya masih ada kekurangan. Yang paling krusial adalah kurangannya kesiapan tenaga pendidik menerapkan kurikulum yang telah ditetapkan.
Di tengah upaya pencapaian kualitas intelegensia anakanak bangsa yang diperoleh di bangku sekolah, mungkin banyak yang lupa bahwa pendidikan karakter adalah hal mendasar yang harus ditanamkan.Harus diyakini bahwa untuk menjadikan anak-anak berbudi pekerti luhur, bukan hanya soal intelektual yang harus diperhatikan. Sisi emosional dan spiritual anak-anak didik, juga menjadi faktor penentu. Bagaimana anak belajar kejujuran, kedisiplinan dan menghargai perbedaan agama atau etnik tertentu, serta membiasakan diri hidup di tengah keberagaman juga menjadi hal penting yang harus diajarkan sejak dini.
Salah satu negara dengan mutu pendidikan terbaik dunia adalah Finlandia. Negara ini tidak mengenal akreditasi atau pemeringkatan. Alat kontrolnya ada di tangan masyarakat, yang menilai secara langsung apakah anak yang belajar di sekolah tersebut menjadi semakin baik, beretika, dan cerdas atau malah sebaliknya. Pemerintah hanya berfungsi sebagai konselor yang memantau setiap perkembangan anak didik di setiap sekolah. Setiap sekolah diberikan kebebasan mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan potensi daerah masing-masing.
Apa yang dilakukan Finlan dia perlahan diterapkan pemerintah. Pendidikan karakter yang ditanamkan kepada anak didik mengacu pada kebijakan pemerintah daerah terkait budaya lokal. Bahasa daerah, keragaman suku bangsa, dan pengenalan permainan dan kesenian daerah masing-masing menjadi dasar pendidikan karakter. Mengapa demikian?
Budaya lokal diakui mampu membangun karakter anak didik melalui kekayaan yang dimiliki di setiap daerah. Bermain egrang atau gobak sodor menepis kebiasaan negatif anak didik yang keranjingan gadget yang cenderung memunculkan sifat individualistis. Demikian juga dengan pengenalan kesenian tradisional seperti gamelan dan tari-tarian, yang menstimulasi anak didik untuk mencintai kebudayaannya.Atau, dengan mengenal bahasa ibu (bahasa daerah) akan memunculkan karakter kecintaan kepada leluhur. Pengenalan terhadap budaya lokal tidak lantas melarang anak didik untuk meninggalkan kemoderenan yang ada saat ini. Kita tidak bisa melarang mereka untuk tidak lagi menggunakan gadget ataupun memakai akses teknologi informasi yang serbacepat. Namun, mereka harus diajari bahwa mengenal karakter bangsa sendiri merupakan hal penting.
Samuel Soemantri    Direktur Sekolah Kesatuan Bogor
MEDIA INDONESIA,  09 Januari 2015

Hubungan Televisi dan Pendidikan

LITERATUR tentang fungsi media senantiasa mengetengahkan bahwa fungsi media ialah informasi, hiburan, dan pendidikan. Media cetak pada umumnya lebih memberikan penekanan pada fungsi informasi dan hiburan, sedangkan televisi (TV) lebih cenderung mengedepankan fungsi hiburan dan informasi, sementara itu, fungsi pendidikan bagi TV cenderung diposisikan sebagai unsur pelengkap. Mengapa demikian?
Apakah karena pengelola stasiun TV tidak menyadari tanggung jawab sosial mereka kepada pemirsa? Ataukah karena fungsi pendidikan dianggap merupakan tanggung jawab utama keluarga dan sekolah? Padahal, kita tahu bahwa apa pun yang disiarkan TV, sadar atau tidak, dimaksudkan atau tidak, akan senantiasa menyosialisasikan nilai-nilai sosial-budaya tertentu dan berdampak pada pemirsa.
Tidak jarang orang menuduh siaran TV menjadi biang keladi perilaku sosial menyimpang yang terjadi di masyarakat. Padahal, mungkin saja terjadi saat dilakukan survei menyangkut pengaruh siaran TV pada pemirsa, ternyata tindakan yang dilakukan responden, independen dari siaran TV. Artinya, responden tidak menyaksikan siaran TV dan tindakannya dijalankan secara spontan tanpa ada kaitannya dengan siaran TV.
Belum lagi kalau kita menelaah lebih jauh penelitian tentang hubungan antara tayangan kekerasan di TV (TV violence) dan perilaku kekerasan aktual di masyarakat, ternyata hasilnya menunjukkan penyebab kekerasan di masyarakat ialah faktor struktural (kesenjangan sosial-ekonomis, lingkungan, dan sebagainya). Tayangan kekerasan di TV bukan sebagai penyebab terjadinya kekerasan di masyarakat, melainkan sebagai faktor yang memperkuat atau mengukuhkan nilai kekerasan yang sudah ada (Joseph Klapper, 1967). Di satu sisi, saat TV menayangkan peristiwa kekerasan di masyarakat, niatnya membuat masyarakat waspada terhadap kemungkinan tindakan kekerasan yang ada di lingkungan sosial. Namun saat frekuensi penayangan tindakan kekerasan menjadi berlebihan, niat mendidik masyarakat malah berbalik membuat masyarakat menjadi takut dan waswas. Di lain pihak, penayangan tindak kekerasan yang berlebihan akan menimbulkan pula dampak psikologis dalam bentuk desensitizing process (proses kehilangan kepekaan akibat tindakan yang sebenarnya luar biasa, malah dianggap normal karena terlalu sering disaksikan).
Dalam kondisi di saat TV dihadapkan pada dikotomi antara tayangan mendidik dan tidak mendidik, stasiun TV akan cenderung berdalih dengan mengatakan apa pun program yang ditayangkan senantiasa memiliki dampak yang diniatkan (intended consequences) dan dampak yang tidak direncanakan (unintended consequences).
Niat program TV senantiasa baik, tetapi pemirsa akan menilai kualitas sebuah tayangan sesuai dengan persepsi masingmasing yang memang pada dasarnya sudah berbeda. Sebagai ilustrasi, saat stasiun TV mengampanyekan pemberantasan HIV/ AIDS dengan sosialisasi penggunaan kondom (niat baik), pesan TV malah dituduh mendorong praktik seks bebas melalui pemanfaatan kondom (dampak buruk).
Sikap proaktif
Dalam dilema semacam ini, tidak banyak pihak yang dapat melihat secara
propor sional sejauh mana sebenarnya TV dapat berperan dalam proses pendidikan. Fungsi pendidikan dilekatkan pada mass media (termasuk TV) karena posisi media sebagai lembaga pendidikan informal. Dalam pendidikan formal, di rumah dan sekolah, nilai-nilai pendidikan disampaikan melalui proses yang interaktif dan dialogis.
Melalui lembaga pendidikan informal yang dijalankan mass media, nilai-nilai pendidikan disisipkan melalui tayangan yang disajikan dalam proses yang monologis. Masalah apakah pemirsa mengerti pesanpesan pendidikan yang diselipkan melalui tayangan TV ataupun apakah mereka memperoleh manfaat pembelajaran, akan bergantung pada persepsi setiap pemirsa.
Setiap pembahasan mengenai mendidik tidaknya tayangan TV pada pemirsa akan sangat bergantung pada sikap proaktif pemirsa untuk memilih dan memilah, antara nilai positif mana yang perlu diinternalisasi untuk kemudian diadopsi dan nilai negatif mana yang perlu diabaikan.
Cara TV menjalankan fungsi pendidikan tidak mungkin dilakukan dengan cara yang linear. Jika hal tersebut dijalankan, mungkin akan membosankan. Nilai pendidikan disampaikan melalui penampilan pesanpesan yang kontras bahkan kontroversial.Kebaikan dikontraskan dengan kejahatan, kecerdasan akan dipertentangkan dengan kebodohan, kepolosan dengan keculasan, bahkan kekerasan dengan kasih. Masalah etika akan timbul, dan dengan sendirinya peran pendidikan akan dipermasalahkan manakala penyampaian pesan dilakukan dengan cara yang tidak proporsional. Atau manakala, nilai-nilai (values) yang negatif memperoleh legitimasi dalam bentuk pembenaran. Tema bahwa kebaikan mengalahkan kebatilan, kejujuran menundukkan kecurangan dan seterusnya, tetap harus dipertahankan dan dijaga sebagai pesan moral.
Panggilan medium TV memang untuk menghibur pemirsa karena jika tayangan tidak menghibur, tentu akan kehilangan pemirsa. Jumlah pemirsa yang tecermin pada rating itulah yang dijual pada agensi untuk menghadirkan iklan, yang pada gilirannya akan memberikan keuntungan ekonomis agar stasiun TV tetap eksis. Logika instrumental bisnis TV memang mencari untung, tetapi logika ideal operasional TV ialah melayani pemirsa dengan tayangan yang menghibur dan sejauh mungkin mendidik.
Jika di sana-sini masih terjadi benturan antara fungsi hiburan dan pendidikan, patut dipahami bahwa pengelola stasiun TV masih berusaha mencari `format yang pas’. Dalam situasi ini, pemirsa juga diminta menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi pendidikan, mass media, termasuk TV, tidak mungkin mengganti peran rumah tangga apalagi sekolah. Posisi mass media sekadar melengkapi peran lembaga pendidikan yang sudah ada.
Suryani Zaini    Anggota Dewan Redaksi Indosiar dan SCTV
MEDIA INDONESIA,  10 Januari 2015